Gambar

Gambar

Iklan

Keberagamaan Dedi Mulyadi: Analisis Komprehensif atas Politik Kebudayaan, Kontroversi Teologis, dan Kepemimpinan di Jawa Barat

Redaksi one
Jumat, 27 Juni 2025
Last Updated 2025-06-27T10:06:00Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini

Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si 


THE REAL NEWS ONE
- Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh Perjalanan politik Dedi Mulyadi, yang akrab disapa Kang Dedi atau KDM, adalah sebuah narasi tentang bagaimana identitas budaya dapat ditempa menjadi modal politik yang tangguh.


 Lintasannya, dari seorang aktivis mahasiswa hingga menduduki kursi tertinggi di Jawa Barat, bukanlah jejak seorang birokrat karir, melainkan seorang wirausahawan budaya-politik yang secara sistematis membangun jenama (brand) kepemimpinan yang unik dan berakar kuat pada nilai-nilai Kesundaan.Dari Aktivis ke LegislatorLahir di Subang, Jawa Barat, Dedi Mulyadi adalah putra bungsu dari seorang pensiunan prajurit dan seorang ibu aktivis Palang Merah Indonesia (PMI). Ayahnya bernama Sahlin Ahmad Suryana, prajurit TNI yang diracun oleh mata-mata Negara Pasundan tahun 1950an sehingga lumpuh dan akhirnya berhenti dari dinas. 


Sahlin Ahmad Suryana adalah prajurit yang sangat diandalkan oleh Jenderal Soedirman yang sama-sama berasal dari Laskar Hizbullah.

Masa kecilnya yang lekat dengan aktivitas menggembala domba dan bertani menjadi fondasi citranya sebagai "orang biasa" atau wong cilik. Namun, landasan intelektual dan organisasionalnya mulai terbentuk serius saat ia menempuh pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Hukum Purnawarman, Purwakarta. Di sanalah ia terjun ke dunia aktivisme sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebuah organisasi yang secara historis berada dalam orbit Islam modernis Indonesia. Puncaknya, ia terpilih menjadi Ketua HMI Cabang Purwakarta pada tahun 1994.


Keterlibatan awalnya dengan HMI ini secara signifikan menempatkannya dalam arus utama pemikiran Islam di Indonesia sejak awal karir publiknya.Aktivisme ini menjadi jembatan menuju panggung politik praktis. Melalui Partai Golkar, ia terpilih menjadi Anggota DPRD Purwakarta untuk periode 1999-2004, di mana ia menjabat sebagai Ketua Komisi E. Membangun Basis Politik (2003-2018) di Purwakarta menjadi laboratorium bagi Dedi Mulyadi untuk menguji dan menyempurnakan visi politik-kebudayaannya. Selama 15 tahun, ia mengabdi di lembaga eksekutif Purwakarta, pertama sebagai Wakil Bupati (2003-2008) dan kemudian sebagai Bupati selama dua periode penuh (2008-2018).


Rentang waktu yang panjang ini memberinya kesempatan luas untuk mengimplementasikan gagasannya secara konsisten. Selama masa ini, gaya kepemimpinannya secara konsisten digambarkan sebagai "populis" dan "humanis," dengan fokus advokasi pada "rakyat kecil" dan penghormatan mendalam terhadap budaya Sunda Priangan. Gaya kepemimpinan populis-humanis yang berbalut budaya Sunda inilah yang kemudian menjadi merek dagang politiknya.


Pengaruh Dedi Mulyadi melampaui batas Purwakarta. Ia dipercaya memimpin sebagai Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat (2016-2020), yang menunjukkan posisinya yang kuat di dalam partai. Upaya pertamanya untuk meraih kursi gubernur pada tahun 2018, berpasangan dengan Deddy Mizwar, belum membuahkan hasil. Namun, ia berhasil melenggang ke panggung nasional sebagai Anggota DPR RI selama dua periode (2019-2024 dan 2024-2029).


Perpindahannya dari Partai Golkar ke Partai Gerindra pada tahun 2023 menjadi sebuah pertaruhan politik yang signifikan, namun terbukti tidak mengurangi daya elektoralnya. Ia kembali terpilih ke DPR RI pada Pemilu 2024 dengan perolehan suara yang sangat besar di daerah pemilihannya. Kekuatan personal ini, yang terbukti mampu melampaui loyalitas partai, menjadi modal utamanya. Pada akhirnya, dalam kontestasi Pilgub 2025, ia berhasil membangun koalisi besar yang mengantarkannya menjadi Gubernur Jawa Barat.


Perjalanan ini menunjukkan bahwa Dedi Mulyadi telah berhasil mengubah identitas Sunda menjadi sebuah "produk" politik yang sangat laku. Ia mengidentifikasi sebuah ceruk identitas, memonopolinya melalui kebijakan nyata selama lebih dari satu dekade di Purwakarta, dan membangun jenama personal yang begitu kuat sehingga para pemilih mengikutinya tanpa memandang bendera partai yang ia usung.


Bagi Dedi Mulyadi, kebudayaan bukanlah sekadar ornamen atau pelengkap pembangunan, melainkan fondasinya. Kebijakan-kebijakannya di Purwakarta merupakan manifestasi dari sebuah upaya sadar untuk "menyihir kembali" (re-enchantment) ruang publik—sebuah proses mengembalikan simbol-simbol dan nilai-nilai lokal tradisional ke dalam lanskap kota modern. Tindakan inilah yang secara fundamental membedakannya dari para teknokrat dan, pada saat yang sama, menyulut gesekan dengan kelompok-kelompok Islam puritan yang justru menjalankan proyek "penghilangan sihir" (disenchantment)—upaya membersihkan ruang publik dari segala simbol yang dianggap tidak murni Islami.


"Ruh Kesundaan" sebagai Kerangka PembangunanInti dari filosofi pemerintahan Dedi Mulyadi adalah keyakinan bahwa pembangunan harus memiliki "ruh kebudayaan Sunda" agar otentik dan berhasil. Baginya, kebudayaan terkait langsung dengan persoalan karakter dan mental bangsa, yang menjadi penentu keberhasilan pembangunan. Filosofi ini tidak berhenti pada retorika, tetapi diterjemahkan ke dalam berbagai aspek tata kelola pemerintahan, mulai dari pelayanan publik, arsitektur, kuliner, hingga pakaian dinas dan kesenian.


Implementasi visi ini terlihat jelas dalam serangkaian kebijakan yang ia terapkan di Purwakarta. Ia mengintervensi langsung sistem pendidikan untuk melawan erosi budaya lokal di kalangan generasi muda. Kebijakan ini mencakup kewajiban bagi siswa untuk mengenakan pakaian adat Sunda (pangsi dan kebaya) pada hari-hari tertentu, penggunaan bahasa Sunda di sekolah, dan penggantian nama-nama sekolah dengan nama tokoh-tokoh Sunda.


Estetika Kota dan Warisan Budaya

Dedi Mulyadi secara masif mengubah wajah Purwakarta dengan mendirikan museum seperti Diorama Bale Panyawangan, membangun patung-patung tokoh pewayangan di berbagai sudut kota, dan mempopulerkan praktik "penyarungan pohon" (membungkus pohon dengan kain). Langkah-langkah ini berhasil membuat Purwakarta dikenal di tingkat nasional dan internasional, bahkan menuai apresiasi dari tokoh-tokoh seperti Presiden Joko Widodo dan Gubernur Ridwan Kamil karena dinilai berhasil memadukan pembangunan dengan pelestarian budaya.


Untuk memastikan kebijakannya membumi, ia menginisiasi program seperti "Jumat Nyanggong," di mana ia secara rutin berinteraksi langsung dengan warga untuk mendengarkan aspirasi tanpa sekat birokrasi. Program ini memperkuat citra populisnya dan melegitimasi kebijakannya di mata masyarakat.Konflik yang timbul dari kebijakan-kebijakan ini bukanlah sekadar perselisihan tentang patung atau ucapan salam. Ini adalah benturan fundamental antara dua proyek yang saling bertentangan untuk mendefinisikan ruang publik: satu sisi berupaya menyihir kembali ruang publik dengan simbol-simbol kearifan lokal, sementara sisi lain berupaya membersihkannya atas nama kemurnian agama.


Mendekonstruksi Tuduhan Bid’ah dan Penistaan Agama

Puncak dari benturan ideologis ini termanifestasi dalam serangkaian tuduhan serius yang dialamatkan kepada Dedi Mulyadi, mulai dari syirik, bid’ah, hingga penistaan agama. Episode ini dapat dianalisis sebagai sebuah "peradilan bid’ah" di ruang publik, di mana kelompok-kelompok tertentu berusaha mendelegitimasi seorang rival politik dengan mendefinisikannya sebagai sosok yang berada "di luar" batas keislaman yang dapat diterima.


Kontroversi meletus ketika pemimpin Front Pembela Islam (FPI) saat itu, Habib Rizieq Shihab, dituduh memelesetkan salam khas Sunda "Sampurasun" menjadi "Campur Racun". Hal ini memicu reaksi keras dari berbagai komunitas Sunda. Dedi Mulyadi, sebagai figur yang gencar mempromosikan salam tersebut, dituduh berupaya menggantikan salam syariat Islam "Assalamualaikum" dengan "Sampurasun," sebuah tindakan yang dianggap menempatkan adat di atas syariat.


Menanggapi tuduhan ini, Dedi Mulyadi secara konsisten memberikan klarifikasi. Ia menegaskan bahwa "Sampurasun" tidak pernah dimaksudkan untuk menggantikan, melainkan untuk melengkapi "Assalamualaikum" dan diucapkan sesudahnya. Ia juga menguraikan makna filosofisnya yang berasal dari frasa "Sampurna ning Ingsun" (sempurnakan diri Anda), yang menurutnya memiliki tujuan mulia untuk saling mendoakan dan memberkahi, sejalan dengan nilai-nilai Islam.


Politik Patung dan Pohon

Kritik paling tajam datang dari kebijakan pembangunan patung tokoh pewayangan seperti Semar dan Arjuna, serta praktik membungkus pohon dengan kain bercorak hitam-putih. Tindakan ini dikecam sebagai praktik syirik (politeisme), meniru tradisi Hindu di Bali, dan bahkan membuatnya dijuluki "Raja Musyrik" oleh sebagian kalangan. Dedi Mulyadi membela kebijakannya dengan argumen estetika dan edukasi budaya. Terkait "penyarungan pohon," ia mengutip hadis Innallaha jamilun yuhibbul jamal ("Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan") sebagai landasan teologis untuk mempercantik kota, yang ia anggap lebih baik daripada membiarkan pohon-pohon ditempeli iklan.


Mengenai patung, ia berargumen bahwa Purwakarta memiliki sejarah industri keramik Plered yang juga memproduksi patung, dan tokoh-tokoh pewayangan adalah ikon budaya yang secara historis justru digunakan sebagai media penyebaran Islam. Ia secara retoris mempertanyakan mengapa patung lain, seperti patung Lodaya milik kepolisian, tidak dipermasalahkan sebagai berhala.


Tuduhan terhadap Dedi Mulyadi mencapai puncaknya dengan laporan polisi resmi atas dugaan penistaan agama pada November 2015. Laporan ini didasarkan pada serangkaian pernyataannya yang dianggap menodai Islam. Namun, analisis yang lebih dalam menunjukkan adanya jurang interpretasi antara pandangan eksoteris (harfiah) para penuduhnya dan pandangan esoteris (substantif) yang kemungkinan besar menjadi landasan pemikirannya.


Pada April 2016, Polda Jawa Barat secara resmi menghentikan penyidikan kasus penistaan agama tersebut dengan menyatakan tuduhan tidak terbukti. Dedi Mulyadi sendiri menganggap keputusan ini sebagai akhir dari polemik. Lebih penting lagi, ia mendapat pembelaan dari otoritas keagamaan arus utama. Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat secara terbuka membelanya, dengan menyatakan bahwa tindakan Dedi Mulyadi harus dilihat sebagai "strategi kebudayaan" dan ekspresi akhlakul karimah (akhlak mulia), bukan kemusyrikan. PWNU Jabar mendorong para pengkritik untuk melihat esensi dari pemikirannya, bukan sekadar bentuk luarnya.


Kegagalan "peradilan" ini, yang ditandai oleh penolakan dari aparat hukum negara dan pembelaan dari organisasi Islam terbesar di kawasan itu, menunjukkan terbatasnya kekuatan kelompok garis keras dalam memaksakan definisi ortodoksi mereka kepada arus utama.


Gubernur Pragmatis: Kebijakan Kontroversial di Luar Ranah Teologis

Gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi yang konfrontatif dan tidak konvensional tidak terbatas pada isu budaya dan agama. Terdapat sebuah logika "populis-otoritarian" yang konsisten dan menyatukan pendekatannya terhadap berbagai masalah sosial. Dalam setiap kasus, ia cenderung mengidentifikasi "patologi sosial" dan meresepkan intervensi negara yang sederhana, kuat, dan sangat terlihat, yang sering kali mengabaikan solusi jangka panjang yang lebih bernuansa.


Gaya inilah yang menjadi sumber popularitas sekaligus kontroversinya. Pendekatan Konfrontatif terhadap Beberapa kebijakan non-teologisnya yang paling menonjol meliputi Vasektomi sebagai Syarat Bansos. Ia mengusulkan partisipasi dalam program Keluarga Berencana (KB), termasuk vasektomi bagi pria, sebagai syarat untuk menerima bantuan sosial (bansos).


Gagasan ini bertujuan untuk mengendalikan laju populasi dan kemiskinan, namun ditentang keras oleh MUI Jawa Barat yang menyatakan vasektomi bersifat permanen dan hukumnya haram. Dedi kemudian mengklarifikasi bahwa metode KB lain juga dapat diterima.


Barak Militer untuk Siswa "Nakal"

Ia meluncurkan program pengiriman siswa yang terlibat kenakalan (seperti tawuran) ke barak militer untuk pelatihan disiplin. Kebijakan ini menuai kritik tajam dari Komnas HAM dan para pegiat hak asasi manusia yang menilainya sebagai bentuk militerisasi pendidikan dan berpotensi melanggar hak-hak anak.


Ia mengeluarkan larangan terhadap acara wisuda dan study tour sekolah yang dianggap membebani orang tua secara finansial. Kebijakan populis ini disambut baik oleh banyak orang tua, meskipun menimbulkan perdebatan.


Satgas Anti-Premanisme

Untuk memberantas pemerasan yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan (ormas), ia membentuk Satgas Anti-Premanisme. Langkah ini memicu konfrontasi langsung dengan ormas GRIB yang dipimpin oleh Hercules. Pola yang muncul dari berbagai kebijakan ini—baik yang bersifat budaya maupun sosial—adalah preferensi terhadap tindakan negara yang bersifat langsung, dari atas ke bawah, dan terkadang koersif.


Pendekatan ini membuatnya terlihat sebagai pemimpin yang tegas dan "menyelesaikan masalah" di mata para pendukungnya, namun di sisi lain dianggap anti-demokrasi dan melanggar hak oleh para pengkritiknya. Kontroversi keagamaan, dengan demikian, bukanlah fenomena yang terisolasi, melainkan salah satu manifestasi dari filosofi kepemimpinan yang lebih luas dan konsisten. Menempatkan Dedi Mulyadi dalam Spektrum Islam IndonesiaUntuk memahami secara utuh keberagamaan Dedi Mulyadi, penting untuk menempatkannya dalam lanskap organisasi Islam di Indonesia.


Hubungannya dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menunjukkan bahwa ia diterima dengan baik oleh arus utama, meskipun menjadi anatema bagi kelompok-kelompok pinggiran. Dedi Mulyadi dan Nahdlatul Ulama (NU)Hubungan Dedi Mulyadi dengan NU bersifat simbiosis dan strategis. NU memberinya tiga sumber daya krusial: (1) perisai teologis, (2) basis massa akar rumput, dan (3) legitimasi kelembagaan.


Secara terbuka, Dedi Mulyadi menyatakan kenyamanannya dengan corak keislaman NU. Pernyataannya yang terkenal, "Enaknya di NU itu, saya bisa belajar Islam secara menyeluruh tanpa harus meninggalkan identitas saya sebagai orang Sunda. Jadi, saya memilih surganya NU, ringan, tidak berat," adalah sebuah deklarasi afinitas personal sekaligus aliansi politik.


Keterikatan ini dilembagakan melalui jabatannya sebagai Wakil Ketua di PCNU Purwakarta. Ia juga aktif bersilaturahmi dengan para kiai NU, menyuarakan visinya untuk menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi yang "religius berbasis ilmu bukan politik". Kerangka teologis NU yang akomodatif terhadap budaya lokal (adat), yang terangkum dalam konsep Islam Nusantara, menyediakan justifikasi ideologis yang sempurna bagi kebijakan-kebudayaan Dedi Mulyadi. Pembelaan PWNU Jawa Barat terhadapnya selama kontroversi penistaan agama adalah bukti paling nyata dari hubungan yang saling menguntungkan ini. 


Dialog Kritis: Dedi Mulyadi dan Muhammadiyah

Hubungannya dengan Muhammadiyah menunjukkan dinamika yang berbeda namun sama pentingnya. Alih-alih aliansi ideologis, relasinya dengan Muhammadiyah lebih bersifat "dialog kritis" mengenai metode pemerintahan. Dedi Mulyadi secara terbuka memuji model kemandirian ekonomi dan pelayanan sosial Muhammadiyah (melalui rumah sakit dan sekolah), dan melihat adanya kesamaan dengan konsep ekonomi komunal dalam budaya Sunda.


Di sisi lain, pimpinan Muhammadiyah tidak ragu untuk memberikan kritik publik yang tajam terhadap kebijakannya yang kontroversial.

 Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, misalnya, secara terbuka meminta agar program barak militer dikaji ulang, dan mendorong pendekatan yang berbasis kajian akademik serta dialog dengan para pemangku kepentingan pendidikan.


Signifikansi dari dialog ini sangat besar. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam lingkaran Islam arus utama, perdebatan mengenai Dedi Mulyadi berpusat pada metodologi kepemimpinannya, bukan statusnya sebagai seorang Muslim. Ini sangat kontras dengan tuduhan murtad dan syirik yang dilontarkan oleh kelompok-kelompok garis keras.

Sintesis dan Kesimpulan: Aset bagi Islam atau Anomali Sinkretis?

Berdasarkan analisis komprehensif di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi Dedi Mulyadi sebagai sosok yang "sangat Islami" adalah sebuah pandangan yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan, terutama jika dilihat dari kacamata Islam arus utama Indonesia.Tuduhan murtad dan musyrik yang dialamatkan kepadanya bersumber dari interpretasi Islam yang sempit, tekstualis (zhahiri), dan sering kali memusuhi budaya lokal. Kelompok-kelompok ini cenderung melihat setiap bentuk sinkretisme sebagai pencemaran terhadap kemurnian akidah. 


Bukti yang mereka ajukan, ketika dianalisis secara mendalam, terdiri dari pernyataan-pernyataan yang dilepaskan dari konteksnya dan penolakan untuk menerima penjelasan metaforis atau estetis.


Sebaliknya, pemikiran dan tindakan Dedi Mulyadi selaras dengan pemahaman Islam yang substantif, esoteris (batini), dan akomodatif terhadap budaya, yang merupakan ciri khas Islam di Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama. Penekanannya pada esensi ajaran—seperti cinta, keindahan, dan keadilan sosial—di atas formalisme yang kaku adalah pendekatan klasik yang dipengaruhi tasawuf.


 Tindakan nyata yang terdokumentasi, seperti menyantuni anak yatim dan jompo, membangun masjid, dan membela kaum miskin, merupakan wujud nyata dari kesalehan sosial (amal saleh) yang dipahami secara luas oleh masyarakat sebagai cerminan seorang Muslim yang baik. Bahkan pernyataannya yang ambigu mengenai Sunda Wiwitan dapat ditafsirkan sebagai ekspresi kerendahan hati spiritual ("saya belum menjadi Muslim yang sempurna") ketimbang pengakuan keluar dari Islam, terutama jika dilihat dari keseluruhan rekam jejak dan afiliasinya.


Dengan demikian, kesimpulan akhir dari laporan ini mengafirmasi tesis awal. Dari perspektif Islam Indonesia, Dedi Mulyadi bukanlah sebuah anomali, melainkan contoh nyata seorang pemimpin yang berhasil mengharmonisasikan kesalehan pribadi, identitas budaya, dan pragmatisme pemerintahan. Ia menjadi benteng terhadap narasi kelompok intoleran dengan menawarkan model kepemimpinan Islami alternatif yang populer dan berhasil. Oleh karena itu, kepemimpinannya memang dapat dipandang sebagai "aset bagi Islam" dalam konteks Indonesia—sebuah Islam yang percaya diri, berakar pada budaya, dan berorientasi pada kesejahteraan sosial, yang menawarkan visi kuat untuk masa depan Jawa Barat dan Indonesia.***RNO

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl