Gambar

Gambar

Iklan

Penderitaan Moral (Moral Torment) yang Dialami oleh Prajurit IDF di Gaza

Redaksi one
Selasa, 26 Agustus 2025
Last Updated 2025-08-27T04:27:40Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini


Oleh Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh

Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh

Joel Robbins, dalam bukunya Becoming Sinners, merangkai teori tentang penderitaan moral atau moral torment sebagai sebuah kondisi psikologis dan sosial yang muncul akibat konversi agama (Joel Robbins. Becoming sinners: Christianity and moral torment in a Papua New Guinea society. Univ of California Press, 2004). Robbins berargumen bahwa ketika masyarakat Urapmin di Papua Nugini memeluk Kristen, mereka tidak hanya mengadopsi keyakinan baru, tetapi juga mengalami transformasi radikal dalam pemahaman mereka tentang moralitas dan dosa, yang pada akhirnya menjebak mereka dalam siklus penderitaan batin yang tak terhindarkan.

 Tatanan Moral Lama vs. Tatanan Moral Baru

Sebelum masuknya Kristen, tatanan moral Urapmin berlandaskan pada prinsip timbal balik atau resiprositas. Dosa atau kesalahan dipandang sebagai tindakan yang merusak hubungan sosial. Misalnya, jika seseorang mengambil sesuatu tanpa izin, dosa itu dianggap sebagai utang sosial yang harus dibayar atau dikembalikan. Moralitas bersifat eksternal, yaitu tentang menjaga keseimbangan hubungan di antara sesama.

Kedatangan Kristen memperkenalkan konsep moralitas yang sama sekali berbeda. Sin tidak lagi dipahami sebagai utang yang bisa dibayar, tetapi sebagai kondisi internal yang melekat pada diri manusia —sebuah warisan dosa asal. Ajaran ini menciptakan dilema yang mendalam bagi masyarakat Urapmin. Di satu sisi, tatanan moral lama menuntut mereka untuk hidup tanpa cacat atau "dosa" demi menjaga harmoni sosial. Di sisi lain, tatanan moral baru meyakinkan mereka bahwa mereka secara fundamental berdosa dan tidak akan pernah bisa sepenuhnya bersih.

Siklus Penderitaan Moral

Penderitaan moral, menurut Robbins, muncul dari konflik abadi ini. Para penganut Kristen Urapmin terus-menerus mencoba untuk membebaskan diri dari dosa melalui ibadah dan praktik religius, namun mereka selalu diingatkan oleh ajaran baru bahwa usaha mereka tidak akan pernah sempurna karena dosa adalah bagian tak terpisahkan dari keberadaan mereka. Perasaan ini menciptakan siklus penderitaan dan siklus pertobatan yang tidak pernah selesai.

Teori Robbins menunjukkan bahwa konversi ke agama baru dapat mengubah identitas moral seseorang, bukan hanya sekadar menambah keyakinan. Penderitaan moral bukanlah kegagalan individu, melainkan konsekuensi logis dari benturan dua sistem moral yang tidak kompatibel. Karya ini menggarisbawahi bagaimana agama dapat menjadi sumber penderitaan sekaligus landasan untuk memahami pengalaman manusia di tengah perubahan budaya yang drastis.

Dalam kacamata teori "moral torment" dari Joel Robbins, situasi bunuh diri prajurit IDF dapat dipandang sebagai konsekuensi dari benturan dua sistem moral yang bertentangan. Konflik di Gaza tidak hanya memunculkan ancaman fisik, tetapi juga secara fundamental mengguncang identitas moral para prajurit, menjebak mereka dalam siklus penderitaan batin yang sulit diatasi.

 Pergeseran Tatanan Moral: Dari Pahlawan menjadi Pelaku

Tatanan moral yang melekat pada prajurit IDF adalah "moralitas pahlawan"—keyakinan bahwa mereka adalah pelindung rakyat dan negara, yang berjuang demi kebenaran. Identitas moral ini memberikan mereka rasa tujuan dan kehormatan. Namun, realitas medan perang modern, khususnya di lingkungan urban yang padat penduduk seperti Gaza, memaksa mereka menghadapi situasi yang bertentangan dengan moralitas ini.

Dalam situasi ini, mereka mungkin dipaksa untuk melakukan atau menyaksikan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai mereka, seperti korban sipil atau kerusakan yang tak terhindarkan. Tindakan ini, yang di mata publik dan diri mereka sendiri mungkin dianggap "perlu" untuk misi, secara internal menciptakan luka moral—perasaan bersalah dan malu yang mendalam karena telah mengkhianati moralitas "pahlawan" mereka.

 Konflik Abadi: Dosa Tanpa Ampunan

Robbins berargumen bahwa penderitaan moral muncul dari kesadaran bahwa seseorang tidak akan pernah bisa sepenuhnya bersih dari "dosa" atau pelanggaran moral. Dalam kasus prajurit IDF, mereka mungkin merasa bersalah atas tindakan yang mereka lakukan di bawah perintah, namun pada saat yang sama, mereka tidak bisa melepaskan diri dari konsekuensi tindakan tersebut.

Tidak seperti dosa dalam sistem moral lama Urapmin yang bisa dibayar, "dosa" dalam moralitas perang modern tidak memiliki mekanisme penebusan yang jelas. Prajurit tidak bisa "membayar utang" atas trauma yang mereka sebabkan. Mereka terjebak dalam kondisi moral torment—penyiksaan moral—di mana mereka terus-menerus merasa bersalah tanpa jalan keluar yang jelas. Ini bukan hanya tentang trauma pertempuran (PTSD), tetapi tentang kehancuran identitas moral mereka. Bunuh diri, dalam perspektif ini, bisa menjadi upaya tragis untuk mengakhiri penderitaan batin yang tak tertahankan**Redaksi RNO

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl