Gambar

Gambar

Iklan

Piagam Djakarta dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Implikasinya pada Amandemen UUD 1945

Redaksi one
Sabtu, 30 Agustus 2025
Last Updated 2025-08-30T10:30:26Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini

 

Oleh Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh


THE REAL NEWS ONE - Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh

Pada tahun 1959, Konstituante, badan yang dibentuk untuk merumuskan konstitusi baru, mengalami kebuntuan. Berbagai fraksi di dalamnya, terutama yang terkait dengan ideologi Komunis, Islam dan kebangsaan, tidak dapat mencapai kesepakatan. Kebuntuan ini mendorong Presiden Sukarno untuk mengambil tindakan tegas. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Dekrit ini, yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno, secara efektif mengakhiri masa Demokrasi Liberal dan kembali ke UUD 1945. Salah satu aspek yang sering menjadi perdebatan adalah posisi hukum Piagam Djakarta dalam dekrit tersebut dan implikasinya terhadap amandemen UUD 1945 di kemudian hari.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berisi tiga poin utama: (1) Pembubaran Konstituante. (2) Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950. (3) Pembentukan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara).

Dalam poin kedua, disebutkan "bahwa kami berkeyakinan Piagam Djakarta tanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut." Kalimat ini lah yang menjadi pangkal perdebatan.

Posisi Hukum Piagam Djakarta

Secara substansial, Piagam Djakarta berisi rumusan Pancasila dengan satu tambahan penting pada sila pertama: "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Rumusan inilah yang kemudian diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam UUD 1945.

Dalam Dekrit Presiden, Sukarno tidak secara eksplisit menyatakan Piagam Djakarta sebagai bagian formal dari UUD 1945. Penggunaan frasa "menjiwai" dan "suatu rangkaian kesatuan" menunjukkan bahwa Piagam Djakarta diposisikan sebagai sumber inspirasi atau semangat dari UUD 1945. Ini berbeda dengan menjadikannya sebagai norma hukum yang setara dengan pasal-pasal UUD.

Para ahli hukum tata negara, seperti Mohammad Yamin dan K.H. Saifuddin Zuhri, memiliki pandangan yang berbeda-beda. Yamin berpendapat bahwa Piagam Djakarta seharusnya memiliki kedudukan setara dengan Mukadimah (Pembukaan) UUD 1945. Namun, secara yuridis, Dekrit tidak pernah secara resmi memasukkan Piagam Djakarta sebagai bagian dari UUD 1945. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa ketika UUD 1945 diberlakukan kembali, tidak ada perubahan teks pada pembukaannya.

Implikasi Terhadap Amandemen UUD 1945

Amandemen UUD 1945 pasca-Reformasi (1999-2002) memiliki implikasi signifikan terhadap perdebatan mengenai Piagam Djakarta. Dalam proses amandemen tersebut, Piagam Djakarta tidak pernah secara resmi dijadikan acuan untuk memasukkan kembali frasa "tujuh kata" (kewajiban syariat Islam).

Berikut adalah beberapa implikasinya:

 * Penguatan Konsensus Nasional: Amandemen UUD 1945 mengukuhkan bahwa Pancasila dengan rumusan yang ada saat ini (tanpa tujuh kata) adalah dasar negara yang final. Hal ini mencerminkan komitmen Indonesia sebagai negara kebangsaan yang majemuk, di mana semua warga negara memiliki kedudukan yang setara, tanpa memandang agama.

 * Penegasan Hukum Positif: Amandemen menunjukkan bahwa sumber hukum tertinggi adalah UUD 1945 yang berlaku, bukan dokumen historis yang "menjiwainya". Secara hukum positif, Piagam Djakarta tidak memiliki kedudukan formal dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.

 * Lahirnya UUD 1945 Hasil Amandemen: Perdebatan tentang Piagam Djakarta menjadi kurang relevan karena UUD 1945 yang berlaku saat ini adalah hasil amandemen yang mengakomodasi perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan.

Pada akhirnya, meskipun Piagam Djakarta memiliki nilai historis yang penting, secara hukum tidak pernah menjadi bagian integral dari UUD 1945 yang berlaku, baik sebelum maupun sesudah amandemen. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memposisikannya sebagai semangat, bukan sebagai norma hukum yang harus diterapkan. Implikasinya, amandemen UUD 1945 meneguhkan konsensus kebangsaan yang pluralis dan menempatkan UUD 1945 sebagai konstitusi yang hidup dan adaptif terhadap dinamika zaman.

Dalam naskah lengkap Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Piagam Jakarta secara eksplisit disebutkan.

Di dalam pertimbangan dekret, Soekarno menyatakan keyakinannya bahwa Piagam Jakarta yang bertanggal 22 Juni 1945 "menjiwai" Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.

Pernyataan ini menunjukkan adanya pengakuan terhadap Piagam Jakarta sebagai dokumen historis yang memiliki arti penting dalam pembentukan UUD 1945. Meskipun Dekrit ini secara formal mengembalikan UUD 1945, penyebutan Piagam Jakarta ini menjadi dasar bagi sebagian pihak untuk menganggap bahwa "Tujuh Kata" dalam Piagam Jakarta juga seharusnya menjadi bagian dari UUD 1945 yang diberlakukan kembali.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl