Oleh Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh
THE REAL NEWS ONE - Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.
Keriuhan senjata, ledakan yang memekakkan telinga, dan bayang-bayang kematian adalah realitas sehari-hari yang harus dihadapi oleh para prajurit di medan perang. Namun, di balik seragam militer dan wajah-wajah yang penuh tekad, tersembunyi beban psikologis yang seringkali jauh lebih berat daripada luka fisik. Konflik yang sedang berlangsung di Jalur Gaza telah menyingkap sisi kelam ini, di mana semakin banyak tentara Israel yang mengakui kelelahan mental, trauma mendalam, dan keinginan untuk segera meninggalkan medan tempur.
Laporan-laporan dari garis depan, termasuk kesaksian yang dibagikan melalui media sosial dan wawancara, melukiskan gambaran yang suram. Para tentara, yang awalnya dikerahkan dengan misi dan semangat juang, kini mulai merasakan kehampaan dan kelelahan yang luar biasa. Ungkapan "kena mental" yang sering digunakan untuk menggambarkan kondisi ini, bukanlah sekadar bahasa gaul, melainkan cerminan dari krisis psikologis yang nyata. Mereka yang seharusnya menjadi pilar kekuatan, kini berjuang dengan diri mereka sendiri.
Kelelahan Fisik dan Trauma Psikologis: Musuh Tak Terlihat.
Perang di Gaza bukanlah pertempuran konvensional di mana garis depan dan belakang jelas terpisah. Lingkungan perkotaan yang padat, jaringan terowongan yang rumit, dan ancaman serangan kejutan membuat setiap langkah menjadi pertaruhan. Tentara Israel harus beroperasi dalam kondisi siaga tinggi yang konstan, di mana bahaya bisa datang dari arah mana saja. Keadaan ini menciptakan kelelahan fisik yang ekstrem, yang diperburuk oleh jam kerja yang panjang, kurangnya tidur, dan kondisi hidup yang serba terbatas.
Namun, yang lebih merusak adalah trauma psikologis yang menumpuk dari hari ke hari. Melihat kematian, baik dari pihak lawan maupun rekan seperjuangan, menyaksikan kehancuran, dan berpartisipasi dalam kekerasan adalah pengalaman yang bisa mengubah seseorang secara permanen. Para prajurit melaporkan gejala kecemasan, mimpi buruk, dan perasaan putus asa. Beberapa dari mereka mulai mempertanyakan tujuan dari pertempuran ini, yang semakin menambah beban moral dan mental. Mereka terjebak dalam lingkaran kekerasan yang seolah tidak berujung, dan setiap hari yang berlalu hanya memperkuat perasaan bahwa mereka adalah bagian dari sebuah mesin yang menghancurkan.
Keraguan dan Keinginan untuk Pulang.
Salah satu indikator paling jelas dari krisis mental ini adalah pengakuan para tentara yang mulai ingin "keluar dari Gaza". Ungkapan ini bukan hanya sekadar keluhan, tetapi merupakan ekspresi dari keinginan mendalam untuk mengakhiri penderitaan yang mereka alami. Berbagai media telah mengutip curhatan para tentara yang merasa misi mereka tidak memiliki kejelasan dan bahwa pengorbanan yang mereka lakukan seolah sia-sia. Ada yang merasa bahwa mereka tidak berjuang untuk sebuah tujuan yang mulia, melainkan hanya menjadi pion dalam konflik yang rumit dan brutal.
Hal ini menjadi tantangan serius bagi kepemimpinan militer Israel. Ketika semangat juang para prajurit menurun, efektivitas operasional pun terancam. Moral yang rendah dapat menyebabkan kesalahan, ketidakpatuhan, dan bahkan pemberontakan. Oleh karena itu, militer Israel berupaya mengatasi masalah ini dengan menyediakan unit-unit pendukung psikologis, meskipun banyak laporan yang mengindikasikan bahwa upaya tersebut belum memadai. Kekhawatiran tentang stigma yang melekat pada masalah kesehatan mental juga membuat banyak tentara enggan mencari bantuan, sehingga masalah mereka menjadi lebih parah.
Dampak Jangka Panjang: "Perang Tidak Pernah Berakhir".
Bagi para prajurit yang beruntung bisa pulang, perjuangan mereka tidak serta-merta berakhir. Pengalaman di medan perang seringkali meninggalkan luka yang tak terlihat, yang dikenal sebagai Sindrom Stres Pasca-Trauma (PTSD). Gejalanya bisa beragam, mulai dari kilas balik yang mengganggu, kecemasan akut, depresi, hingga kesulitan berinteraksi dengan keluarga dan masyarakat. Laporan-laporan dari masa lalu menunjukkan bahwa tingkat bunuh diri di kalangan veteran perang cenderung lebih tinggi daripada populasi umum, dan ini menjadi kekhawatiran besar bagi para prajurit yang kini bertugas di Gaza.
Masyarakat Israel sendiri juga menghadapi dilema. Mereka bangga dengan kekuatan militer mereka, tetapi kini mereka harus menghadapi kenyataan pahit bahwa "anak-anak" mereka yang dikirim ke medan perang kembali dengan luka-luka yang tidak terlihat. Hal ini menciptakan perpecahan dalam masyarakat, antara mereka yang terus mendukung operasi militer tanpa batas dan mereka yang mulai mempertanyakan harga mahal yang harus dibayar, tidak hanya dalam hal nyawa tetapi juga dalam hal kesehatan mental para prajurit.
Refleksi Kemanusiaan dari Balik Seragam.
Kisah-kisah ini menjadi pengingat yang kuat bahwa di balik setiap konflik bersenjata, ada individu-individu dengan perasaan, ketakutan, dan harapan. Tentara, baik dari pihak Israel maupun Palestina, adalah manusia yang terjebak dalam pusaran kekerasan yang seringkali tidak mereka pilih. Pengakuan tentara Israel tentang kelelahan mental mereka adalah sebuah refleksi kemanusiaan yang mendalam. Mereka bukan lagi sekadar alat perang, melainkan individu yang berjuang untuk bertahan hidup, tidak hanya dari serangan musuh tetapi juga dari kehancuran batin mereka sendiri.
Pada akhirnya, perang di Gaza tidak hanya mengklaim nyawa dan menghancurkan infrastruktur. Ia juga merusak jiwa-jiwa yang terlibat di dalamnya. Keterbukaan para tentara Israel tentang kondisi mental mereka adalah sebuah seruan untuk dunia, sebuah pengingat bahwa konflik bersenjata meninggalkan bekas luka yang jauh lebih dalam dan lebih lama dari yang bisa kita bayangkan. Itu adalah harga yang sangat mahal, dan mungkin, harga itu tidak sepadan dengan apa pun.**RNO