Oleh Aceng Syamsul Hadie, S.Sos., MM.
Ketua Dewan Pembina DPP ASWIN (Asosiasi Wartawan Internasional).
Pagi itu, kabut menggantung rendah di kawasan Puncak Bogor. Udara dingin menusuk kulit, tetapi yang lebih mengiris adalah pemandangan bukit-bukit yang dulu lebat dengan hutan, kini berubah menjadi hamparan tanah retak dan pohon-pohon yang hanya tinggal tunggul. Di tengah kerumunan warga, Kang Dedi Mulyadi berdiri dengan mata sembap, menatap pilu ke arah sungai keruh yang mengalir lesu. Ia menghela napas panjang sebelum berkata lirih, “Kita telah berdosa pada alam. Sudah saatnya kita bertobat.”
Seruan itu bukan sekadar metafora. Ia menyebutnya *tobat ekologis*—sebuah ajakan spiritual dan moral untuk mengakui kesalahan kolektif manusia terhadap lingkungan hidup. Dalam sejumlah video di kanal YouTube resminya, seperti “TOBAT EKOLOGI | Kang Dedi Bersama Masyarakat Tanam 50 Ribu Pohon”, ia menuntun warga menanam pohon demi membuka kembali pori-pori tanah yang tertutup beton dan tambang. Ia tak segan menyebut bahwa masalah utama bangsa bukan hanya ekonomi atau politik, melainkan dosa terhadap alam.
Gerakan *tobat ekologis* itu diwujudkan bukan hanya lewat pidato, tetapi lewat aksi nyata. Dedi memimpin langsung rehabilitasi hutan dan sungai bersama masyarakat, serta menggandeng personel TNI dari darat, laut, dan udara untuk menjaga hulu-hilir aliran sungai. Ia menyadari bahwa kerusakan lingkungan membutuhkan gerakan lintas sektoral, bukan hanya tugas pemerintah.
Sikap tegas juga ia tunjukkan terhadap tambang galian C. Di berbagai wilayah seperti Bogor dan Parung Panjang, ia memimpin penyegelan tambang ilegal dan bangunan-bangunan yang merusak alam. Dalam video TikTok yang menyentuh hati, “Dedi Mulyadi Menangis di Puncak Bogor”, ia terduduk menangis di tengah reruntuhan kampung yang telah ditinggalkan warganya karena dampak pertambangan. Suaranya gemetar saat mengatakan bahwa penderitaan rakyat dimulai ketika gunung dikorbankan demi kota.
Tak hanya bertindak sendiri, Dedi juga menyerukan ajakan *tobat ekologis* kepada para kepala daerah se-Jawa Barat. Dalam video yang viral di YouTube, “Dedi Mulyadi Minta Kepala Daerah Se-Jabar Tobat”, ia menggugah kesadaran bupati dan wali kota untuk menghentikan alih fungsi lahan, pencabutan pohon, dan sertifikasi lahan di zona konservasi. Menurutnya, gunung dan sungai bukanlah aset properti, melainkan milik semesta dan generasi masa depan.
Di media sosial, ajakan itu makin bergema. Di TikTok, ia menyatakan bahwa pelestarian alam adalah bentuk ibadah. Di Instagram, ia menekankan bahwa *tobat ekologis* adalah kerja sama lintas sektor. Di Facebook, ia mengunggah momen penanaman 50.000 bibit pohon di kawasan Puncak, sebagai simbol kebangkitan ekologis Jawa Barat.
Kang Dedi sadar betul bahwa kerusakan lingkungan telah mencapai titik kritis—banjir, pencemaran air, hilangnya hutan primer, dan krisis iklim. Ia percaya bahwa *tobat ekologis* bukan sekadar solusi teknis, tapi perubahan paradigma: dari eksploitasi menjadi pelestarian, dari keserakahan menuju kasih terhadap bumi.
Sebagaimana yang ia sampaikan dalam video “Masalah Indonesia Cuma Satu, Dosa pada Alam”, Kang Dedi menegaskan bahwa kemakmuran sejati hanya bisa dicapai bila manusia menyatu kembali dengan alam, menjaga kesakralan tanah, dan menghormati sungai sebagai urat nadi kehidupan.
Tobat ekologis, bagi Kang Dedi, adalah panggilan jiwa. Seruan itu bukan hanya ditujukan kepada warga Jawa Barat, tapi kepada seluruh anak bangsa. Karena ketika kita menyelamatkan alam, kita sedang menyelamatkan masa depan.[RN]