Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si_
Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Lahir pada 11 April 1971 di Kampung Sukadaya, Subang, Dedi adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Ayahnya, Sahlin Ahmad Suryana, adalah pensiunan tentara yang harus berhenti dinas karena sakit akibat racun mata-mata kolonial. Ibunya, Karsiti, seorang aktivis Palang Merah Indonesia, menjadi tulang punggung keluarga. Masa kecil Dedi penuh perjuangan—ia pernah menjadi penjual es mambo, kuli angkut batu bata, bahkan tukang ojek demi membantu ekonomi keluarga.
Semangat juangnya membawanya kuliah di Sekolah Tinggi Hukum Purnawarman, Purwakarta, dan lulus sebagai sarjana hukum pada 1999. Di masa kuliah, ia aktif sebagai Ketua HMI Cabang Purwakarta dan berbagai organisasi sosial.
Ayahnya, Sahlin Ahmad Suryana, adalah seorang prajurit kader yang mulai bertugas sejak usia 8 tahun dan bergabung dengan Batalyon Siliwangi Resimen 7 setelah kemerdekaan. Ketegasan, integritas, dan keberanian ayahnya inilah yang menjadi cikal bakal sikap anti-korupsi dan anti-eksploitasi alam yang kini diusung Dedi dalam kebijakan publiknya.
Sementara itu, ibunya, Karsiti, adalah aktivis Palang Merah Indonesia yang tak pernah mengenyam pendidikan formal. Ketika sang suami jatuh sakit dan tak bisa bekerja, Karsiti mengambil alih tanggung jawab keluarga. Ia menjadi kuli tandur, nyangkul di sawah, dan menggembala domba demi menghidupi sembilan anaknya. Dalam wawancara dan pidato-pidatonya, Dedi sering menyebut ibunya sebagai “pengendali inflasi keluarga” dan “juru kunci ketahanan pangan” karena kemampuannya mengelola keuangan dan cadangan pangan dari pekarangan rumah.
Dari sang ibu, Dedi belajar tentang keuletan, pengorbanan, dan pentingnya menjaga keseimbangan hidup dengan alam. Ia pernah menceritakan bagaimana ibunya membeli cincin emas dari uang sunatnya, bukan sepeda seperti yang ia harapkan. Cincin itu kemudian dijual untuk membeli kambing, dan dari situlah Dedi belajar tanggung jawab dan nilai investasi jangka panjang.
Kehidupan keras dan penuh perjuangan bersama kedua orang tuanya membentuk karakter Dedi yang sederhana, tangguh, dan sangat peduli terhadap rakyat kecil. Ia tumbuh dengan kesadaran bahwa kemakmuran bukan berasal dari eksploitasi, melainkan dari harmoni antara manusia dan alam. Maka tak heran jika ia begitu lantang menolak tambang galian C, menanam ribuan pohon, dan menyerukan tobat ekologis sebagai jalan spiritual dan politik untuk menyelamatkan bumi.
*Karier Politik dan Gaya Kepemimpinan*
Langkah politiknya dimulai sebagai anggota DPRD Purwakarta (1999–2003), lalu Wakil Bupati (2003–2008), dan kemudian menjabat sebagai Bupati Purwakarta selama dua periode (2008–2018). Di masa itu, ia dikenal dengan kebijakan unik seperti larangan PR di sekolah, pelestarian budaya Sunda, dan pembangunan taman-taman dengan patung tokoh wayang.
Setelah menjabat sebagai anggota DPR RI (2019–2023), ia pindah dari Partai Golkar ke Gerindra dan memenangkan Pilgub Jabar 2024 dengan suara tertinggi sepanjang sejarah pemilu gubernur di provinsi tersebut.
*Kebijakan Ekologis dan Sosial*
Langkah-langkah berani yang diambil Kang Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan pernyataan ideologis tentang bagaimana manusia harus memperlakukan alam. Ia tidak hanya bicara soal pembangunan, tapi tentang *penebusan kolektif* atas dosa ekologis yang telah lama dilakukan.
Setelah banjir besar melanda Bekasi dan Jabodetabek pada Maret 2025, Dedi langsung mengumpulkan para kepala daerah dan menyerukan *tobat ekologis* sebagai jalan keluar. Ia menyebut bahwa banjir bukan sekadar musibah, tapi juga “hikmah” yang menyadarkan kita akan pentingnya memperbaiki tata ruang dan pola hidup masyarakat.
Dalam rapat penanganan banjir bersama Bupati Bogor, Bekasi, Karawang, dan Wali Kota Depok, Dedi menegaskan bahwa kebijakan tata ruang selama ini tidak terkendali. Ia menyebut bahwa sungai, gunung, dan laut telah disertifikasi dan dialihfungsikan menjadi milik pribadi, padahal seharusnya menjadi kepentingan bersama.
Ia pun menggagas pencabutan sertifikat tanah di bantaran sungai dan relokasi warga yang tinggal di zona rawan banjir. Di Desa Nyalindung, Bandung Barat, ia meninjau langsung rumah-rumah yang rusak akibat luapan Sungai Cimeta dan menyatakan bahwa relokasi akan dilakukan setelah Idul Fitri, dengan lahan disediakan oleh desa dan pembangunan rumah oleh Pemprov.
Di Bekasi, ia memimpin pembongkaran ratusan bangunan liar di bantaran Kali CBL dan Kali Bekasi. Meski menuai protes, ia tetap teguh bahwa penataan sungai harus berlanjut dan warga terdampak harus diberi tempat relokasi yang layak.
Untuk mengurangi eksploitasi batu dan semen, Dedi menggagas pembangunan sekolah dari bambu. Ia menyebut bahwa Indonesia adalah penghasil bambu terbaik di dunia, dan sudah saatnya bahan ini digunakan secara masif seperti di Tiongkok dan Amerika.
Dalam hal pengelolaan sampah, Dedi menghadiri langsung peletakan batu pertama pabrik pengolahan limbah B3 di Purwakarta. Pabrik ini akan mengolah limbah rumah tangga dan rumah sakit menjadi pupuk, batako, dan produk peternakan. Ia juga mendorong pembangunan PLTSa di lima eks-karesidenan Jawa Barat sebagai solusi jangka panjang.
Yang paling monumental adalah instruksi normalisasi sungai dan rehabilitasi lahan kritis. Ia menggandeng TNI dan Kementerian PUPR untuk mengeruk sungai Cikeas, Cileungsi, dan Kali Bekasi. Ia menyebut bahwa daerah yang sudah dinormalisasi tidak lagi banjir, sementara yang belum masih terdampak.
Dedi juga menyoroti bahwa banyak perumahan dibangun di lahan bekas sawah dan rawa yang posisinya lebih rendah dari sungai. Ia menyebut ini sebagai “kesalahan tata ruang yang ugal-ugalan” dan meminta para bupati serta wali kota untuk segera mengevaluasi kebijakan pembangunan.
*Penghargaan dan Pengaruh*
Dedi menerima *Satyalencana Kebudayaan* dari Presiden Jokowi pada 2021 atas kontribusinya dalam pelestarian budaya. Ia juga masuk dalam daftar *10 politisi paling berpengaruh di media sosial* pada 2023, berkat gaya komunikasinya yang dekat dengan rakyat dan konten-konten inspiratif di YouTube, TikTok, dan Instagram.
Dedi dikenal sebagai pemimpin yang emosional dan spiritual. Ia tak segan menangis di hadapan warga, menyentuh hati banyak orang. Namun, ia juga tak lepas dari kontroversi, seperti kebijakan jam malam bagi siswa dan pengiriman anak nakal ke barak militer untuk pembinaan karakter.***